INGAT mebel ukir, langsung ingat Jepara, sebuah kabupaten di Jawa Tengah yang terkenal sebagai sentra mebel jati ukir. Namun, banyak yang belum mengetahui bahwa di Desa Bukir di pinggir Kota Pasuruan, Jawa Timur, juga ditemukan sentra kerajinan serupa.

Cobalah pergi ke sana pada hari Jumat dan Sabtu. Jalan yang juga berfungsi sebagai jalur utama Pasuruan–Surabaya itu akan sangat macet, dipenuhi truk-truk, pikap, becak hingga andong pengangkut mebel.

Para penjual atau pembeli sudah mengerti, hari-hari tersebut merupakan hari transaksi. Di jalan itu orang menjual dan membeli mebel kayu jati setengah jadi atau mebel yang belum mendapat sentuhan akhir (finishing) sepenuhnya buatan warga setempat.

Para pembeli yang datang umumnya berasal dari daerah di Jatim sendiri. Mustawar, pedagang mebel asal Kediri yang biasa kulakan di Bukir seminggu sekali mengatakan, meskipun memiliki bengkel mebel sendiri, dia lebih suka membeli mebel dalam partai besar di Bukir. “Di sini bebas memilih dan harganya lebih murah,” katanya sambil memilih-milih mebel yang akan ia beli.

Itulah potret kawasan mebel Bukir, Pasuruan. Menurut Nur Hasan (45), perajin asal Desa Tidu, Pasuruan, kawasan itu mulai berkembang sejak tahun 1973. Pada awalnya, sentra itu terletak di Jalan Jawa di salah satu sudut Kota Pasuruan.

Namun, seiring dengan semakin banyaknya pedagang dan perajin yang berkumpul di sana, pemerintah kabupaten berpikir untuk memindahkan sentra perdagangan mebel itu di Jalan Gatot Subroto dan membangun Pasar Mebel Bukir.

LEBIH jauh Nur menjelaskan, bukan suatu hal yang mengejutkan lagi kalau produk industri rumahan yang dikenal dengan model antikan, seperti mebel Bukir itu banyak melibatkan tenaga kerja lokal. Mulai dari perajin hingga tukang pelitur. Mebel yang diperdagangkan umumnya dibuat di rumah-rumah penduduk dan sudah merupakan usaha turun-temurun.

Ia bercerita, nenek moyang mereka dulu suka pergi ke Jepara, Jawa Tengah, untuk belajar membuat mebel kayu jati. Hasilnya, memang ada sedikit sentuhan Jepara berupa ukir- ukiran khas yang muncul pada mebel buatan Pasuruan itu, meski terlihat sedikit lebih kasar.

Dari begitu banyaknya desa di Kabupaten Pasuruan-paling tidak terdapat 11 desa yang terletak di pinggir Kota Pasuruan-yang memiliki spesifikasi keahlian membuat mebel tertentu. Nur Hasan bercerita, di desanya setiap perajin memiliki keahlian membuat bufet.

Keahlian itu bisa juga dilihat di Desa Jaelan. Di desa ini, rata-rata perajinnya lebih terampil membuat bufet dibandingkan mebel jenis lainnya. Kemudian ada Desa Tahunan dan Desa Sungi yang perajinnya ahli membuat lemari pakaian.

Di Desa Pilang dan Desa Kompyangan, para perajin memiliki keahlian membuat meja dan kursi makan. Sentra pembuatan tempat tidur dapat ditemukan dengan mudah di Desa Plinggisan, Desa Pilang, dan Desa Sidogiri. Sedangkan meja dan kursi tamu dibuat di Desa Sebani dan Desa Bukir.

Nur menyebutkan, di setiap desa itu sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai perajin. Hanya sebagian kecil yang memilih profesi lain. Di desanya sendiri, Desa Tidu, ada sekitar 645 keluarga, dan sekitar 75 persen adalah perajin yang membuat bufet. Setiap lokasi perajin menampung lima sampai enam pekerja.

Dalam seminggu lima perajin bisa menyelesaikan delapan buah bufet. Sedangkan untuk meja ataupun kursi yang masih setengah jadi, seorang perajin bisa menyelesaikan satu buah setiap hari. Namun, ukir-ukiran yang ada di mebel itu masih kasar. Masih harus diberi sentuhan akhir berupa pengampelasan, pelitur, dan dekorasi.

Itu sebabnya mebel bisa diperoleh dengan harga lebih murah.

LAIN perajin lokal, lain pula perajin yang bekerja untuk perusahaan ekspor. Seperti di Usaha Dagang (UD) Sinar Mas Furniture. Perusahaan yang berorientasi ekspor itu memiliki dua model pekerja, yaitu pekerja borongan dan pekerja yang digaji mingguan.

Pekerja borongan umumnya merupakan perajin yang memang menjadi asuhan perusahaan itu. Dengan demikian, mereka akan mendapatkan order pekerjaan secara kontinu dari perusahaan induk tersebut.

Panca Sunu, asisten Esty Agus, pemilik UD Sinar Mas Furniture, mengatakan, dengan model pekerja seperti itu membuat kualitas produk yang dihasilkan terjaga. “Begitu order dilepas ke perajin, kami tidak serta-merta melepas. Kami tetap memantau pekerjaan mereka,” katanya.

Dari perajin borongan, produk yang biasanya masih setengah jadi itu akan diselesaikan oleh belasan pekerja mingguan. Jika dihitung-hitung, setiap pekerja ini akan berpenghasilan setara upah minimum kabupaten setiap bulan.

Dengan kualitas yang terjaga semacam itu, Panca mengatakan, perusahaannya bisa mengirim dua kontainer mebel ke Perancis dan Italia per minggu. Dia mengatakan, kedua negara tujuan ekspor itu merupakan negara yang sulit ditembus selain Korea dan Jepang.

Ia mencontohkan, dari pameran terakhir, yaitu Pameran Produk Ekspor Indonesia di Jakarta beberapa bulan lalu, mereka mendapatkan pelanggan dari Perancis yang langsung memesan tujuh item produk dengan jumlah 290 buah.

Randy Chandra, Ketua Bidang Perdagangan Luar dan Dalam Negeri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Pasuruan mengatakan, sebetulnya bukan masalah jika sebuah perusahaan mebel ingin menjajaki ekspor. Persoalannya, apakah mereka itu sudah memiliki tekad yang kuat untuk memperbaiki diri?

Ia justru memprihatinkan pemerintah kabupaten yang kurang menaruh perhatian terhadap perajin mebel lokal. Sulitnya bahan baku kayu akibat moratorium penebangan hutan (logging) oleh pemerintah memang tidak membuat perajin harus menganggur karena masih ada bahan baku kayu lokal.

“Namun, dari sisi kualitas masih sangat memprihatinkan sehingga tetap sulit untuk bersaing di pasar ekspor,” ujar Randy (kompas).